9:00 Ahad pagi di ibukota.
Kembali saya tertegun melihat apa yang terjadi di hari ini. Mulai bencana alam, krisis moral, nilai-nilai pelajaran sendiri yang mulai turun, dan kondisi bola sepak negeri ini yang tak kunjung membaik. Hari ini saya ingin kembali menyantap menu sepakbola yang selalu berubah-ubah rasa disetiap harinya..
Pergantian kepengurusan yang diharapkan bisa menjadi batu acuan perubahan ternyata tidak sesuai harapan saya. Nyatanya, efek revolusi yang digembar-gemborkan ternyata berefek sangat besar dan mulai tidak masuk akal logis saya sebagai anak berseragam abu-abu.
"Sepakbola adalah refleksi sebuah bangsa"
Dimulai dengan keputusan-keputusan kontroversial selama kepemimpinan Presiden Federasi sepakbola yang lebih lucu ketimbang acara lawak "pukul-pukulan gabus", prestasi tim nasional yang tak juga membaik, sampai kembali terjadinya dualisme Liga yang merupakan jantung dan elemen terpenting dari sepakbola itu sendiri.
Sebagai suporter Persija Jakarta yang juga merupakan korban dari "keganasan" pengurus PSSI, saya tentu marah, kesal, dan berbagai reaksi negatif lainnya. Namun, saya kini bisa bersifat lega saat #RealPersija memutuskan bertanding di Liga Indonesia yang merupakan amanah tim-tim besar negeri ini kepada bpk. Joko Driyono. PSSI pun tidak tinggal diam, gertakan bahkan ancaman dihaturkan untuk semua komponen liga tersebut.
Namun, Disinilah hal yang mengusik diri saya dimulai, Sedih sepakbola ini mulai di privatisasi orang-orang besar berduit dan mengabaikan kepentingan sepakbola itu sendiri, yaitu olahraga dan hiburan rakyat. Sebagai pencinta klub ibukota saya mendukung penuh tim saya tersebut berlaga di ISL. Tapi, bukankah hal tersebut tetap saja salah? Walaupun Liga bentukan PSSI pun juga banyak melakukan pelanggaran. Tapi, Saya dengan tegas menyatakan bahwa saya BUKAN pencinta keputusan-keputusan kontroversial PSSI yang telah merusak sepakbola Indonesia apalagi Antek-antek Medco, "Cih!" . Namun, saya mencintai cita-cita luhur dan semangat bapak Soeratin membentuk organisasi ini, yaitu membentuk Sepakbola Indonesia yang lebih teratur, lebih semarak dan menjadi kebanggaan orang Indonesia. Bukankah kita dilahirkan dengan hati nurani yang akan memberontak saat terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan kebenaran? Apakah kita tega melihat cita-cita luhur PSM Yogyakarta (PSIM Yogyakarta), VIJ Jakarta (sekarang Persija Jakarta), BIVB Bandung (Persib Bandung), IVBM Magelang (PPSM Magelang), MVB Madiun (PSM Madiun), SIVB Surabaya (Persebaya Surabaya) dan VVB Solo (Persis Solo) yang telah bersusah payah mendirikan organisasi ini disaat negeri ini bahkan belum mendapatkan kemerdekaan?
Kita mungkin berasal dari beberapa elemen yang berbeda. dari liga yang berbeda, klub kebanggaan yang berbeda tetapi bukankah negeri ini tetap bermotto kan Unity in Diversity? bukankah kita berasal dari negeri yang satu?
Kita seharusnya mampu memposisikan diri kita seperti uang koin direpublik ini. Dimana uang yang selalu berbeda motif dan bentuk pada setiap nominalnya, tetapi tetap membawa logo Garuda disisi yang lain. Mungkin kita harus berperan demi klub yang kita cintai, namun kita juga berkewajiban membawa negeri ini kembali merajai sepakbola.
"Jangan tanya apa yang bisa negara berikan kepada kita, tapi apa yang bisa kita berikan untuk negara"
John F Kennedy
John F Kennedy
Tinggalkan nama besar dan gengsi, lepaskan segala warna dan atribut. Duduk merenung bersama demi apa yang kita perjuangkan, karena yang muda yang didengar. Demi sepakbola Indonesia yang lebih baik...
Rafi Fauzan
0 komentar:
Post a Comment